welcome to akademi changcutama

23 Sep 2012

#anti galau


Mengapa harus anti galau?

Karena sejarah telah menyiratkan begitu banyak cerita kegagalan yg diakibatkan oleh racun yang bernama galau itu.

Berlebihan? Hiperbolis?? Tentu tidak

Galau memang bukan penyakit seperti flu atau influenza yang bisa dideteksi secara klinis. Galau juga tidak memiliki efek mematikan langsung sefatal kecelakaan bermotor, demam berdarah, serangan jantung atau stroke. Namun potensi bahaya laten galau justru terletak pada tidak disadarinya bahaya dari galau itu sendiri. Karena galau bisa menjadi pemicu lahirnya semua efek fatal itu.

Galau bisa membuat kekebalan fisik melemah. Galau bisa menurunkan tingkat kewaspadaan saat berkendara dan yang paling bahaya adalah jika galau sudah menurunkan semangat untuk hidup. Merasa tidak berguna, tidak berarti lagi.

Maka lahirlah cerita cerita sedih tentang mereka yang bunuh diri hanya karena gagal lulus UAN, gagal menikah, gagal bekerja & lain segalanya. Padahal hidup itu sendiri sudah sangat singkat dan pasti akan berakhir tanpa harus diakhiri sendiri.

Kalaupun tidak sampai membunuh diri, galau juga bisa membunuh waktu & kesempatan. Hal-hal berharga yang mungkin tidak akan terulang lagi. Semuanya hilang, hanya karena waktu terasa lebih asyik dihabiskan dengan melamun dan bertindak menuruti kesedihan.

Seperti kisah hidup seorang pelukis sekaliber Vincent Van Gogh misalnya. Ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dalam keadaan tidak bahagia / depresi / galau tingkat tinggi dan kemudian meninggal di usia 37 tahun dalam keadaan miskin semiskin-miskinnya. Ironisnya, karya – karya nya kemudian laku dan bernilai tinggi justru setelah ia tiada. Beliau tidak bisa menikmati kesuksesannya ketika masih hidup.

Maka cukupkan cerita tentang galau itu sampai disini saja. Jika dirasa masih kurang, perhatikan saja disekeliling kita. Begitu banyak hasil sia-sia yang didapatkan hanya karena galau. Lebih baik mengambil inspirasi dari kisah mereka yang gagal namun tidak pernah menyerah kalah dalam kegalauan. Orang orang yang berani berkata tidak pada kegagalan.

Seperti mendiang Elvis Presley misalnya. Sebelumnya ia hanyalah seorang supir truck dan ketika pertama kali mencoba meniti karirnya sebagai penyanyi disebuah klub, ia dipecat oleh manajer klub tersebut yang berkata kepadanya “sudahlah Elvis, kamu harus menerima kenyataan bahwa kamu tidak bisa menyanyi! Mending kamu balik lagi saja bekerja sebagai supir truck!”. Bayangkan kalau Elvis menerima pernyataan tersebut dengan negatif, galau lalu menyerah. Maka mungkin rock n’ roll tidak akan seperti yang kita kenal sekarang.

Bayangkan juga apa jadinya dunia ini seandainya Albert Einstein galau. Karena Einstein punya banyak faktor yang bisa membuat ia galau. Bagaimana tidak, di usia 7 tahun ia masih belum bisa membaca. Guru dan orang tuanya pun sempat berpikir bahwa Einstein itu mentalnya terbelakang. Ia juga sempat dikeluarkan dari sekolah dan gagal dalam ujian masuk pertamanya ke perguruan tinggi. Jika Einstein larut dalam galau, maka dunia tidak akan seperti yang kita nikmati saat ini.

Dengan mencoba menafsirkan teori relativitas khusus Einstein secara bebas, maka kegalauan seharusnya bisa dikonversi menjadi energi. Teori tersebut menjelaskan bahwa waktu itu sifatnya relatif, tergantung pada masing masing orang yang merasakannya.

Si Dudung yang sedang dimarahi ibu nya tentu akan merasakan waktu berjalan dengan lambat. Sementara si Maman yang pada saat bersamaan sedang seangkot dengan seorang wanita cantik akan merasakan waktu berputar terlalu cepat. Kira kira seperti itulah ilustrasi tentang relativitas waktu.

Seseorang yang sedang berada dalam masa galau akan merasakan waktu berputar begitu lambat. Padahal jika kesedihan itu di tumpahkan dalam suatu karya misalnya, maka mungkin hasilnya pun akan dahsyat. Karena waktu yang ia miliki pun terasa panjang.

Seperti yang pernah dicontohkan oleh Eric Clapton yang berhasil mengkonversi kesedihannya kehilangan anak kesayangannya ke dalam lagu “Tears in Heaven” yang sukses berat itu. Lihat juga bagaimana seorang raja Shah kahan yang mengkonversi kegalauannya ditinggal mati sang istri ke dalam bentuk bangunan monumental Taj Mahal.

E=MC2. Semakin banyak massa / beban galau yang disandang maka akan semakin besar pula kemungkinan energi yang dihasilkannya. Jika bisa dikonversi secara benar!
Maka bangunlah! Hidup memang keras tapi kita harus tetap bergulir!
Mulailah berimajinasi, berdoa, berusaha lalu percaya.

semoga bermanfaat :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar